Enter your keyword

post

Peran Perempuan dalam Sustainability Sumber Daya Alam

Peran Perempuan dalam Sustainability Sumber Daya Alam

Alam itu pengayom, pelindung, tempat manusia, hewan dan tumbuhan tumbuh, berkembang dan dilindungi. 

Kedekatan Perempuan dan Alam

Nurbaya, S (2018) mengatakan bahwa alam seperti ibu yang melindungi dan menaungi anaknya. Alam juga sering mendapat julukan sebagai “Ibu Pertiwi”. 

Personifikasi “Ibu” dengan “Alam” sebenarnya karena keduanya memiliki karakter yang mirip yakni memberi dan menopang kehidupan. Seperti halnya perempuan yang mempunyai karakter dalam melahirkan/menghasilkan dan memelihara kehidupan.  

Terdapat nilai sakralitas yang tinggi tersemat dalam “Ibu” karena menjadi satu-satunya pintu bagi lahirnya kehidupan. Bumi menjadi pelindung bagi segenap isinya, bagi manusia, tumbuhan, hewan dan semua unsur-unsur lain didalamnya. 

Seperti yang ditulis oleh Rinoza, R (2016) menjelaskan bahwa hubungan antara alam dan manusia dianalogikan sebagai hubungan antara Prakriti (Bumi) dan Purusha (Manusia), hubungan antara bumi dan manusia saling memelihara dan melindungi, hubungan yang tidak terpisah. 

Hal ini berbeda dengan pandangan Barat (pasca revolusi industri) yang memahami bahwa posisi keduanya (manusia dan bumi) sebagai entitas yang terpisah bahkan salah satu mendominasi yang lain. 

Dualisme Kehidupan dan Dampaknya terhadap Alam

Perkembangan pandangan dan pemahaman yang melihat kehidupan dalam dualisme dan mendikotomikan antara manusia dan alam, laki-laki dan perempuan, seperti layaknya perempuan yang posisinya berada dalam subordinasi laki-laki (pada sebagian besar kasus), bumi berada dalam posisi subordinasi dari kekuasaan dan kerakusan manusia, bumi sebagai objek eksploitasi dan kerusakan demi memenuhi kebutuhan manusia, mereka tidak lagi memandang alam sebagai partner yang harus “berhubungan dengan mesra” dan saling menjaga, sebaliknya alam dipandang sebagai aset, sebagai sumber kemakmuran yang dari sanalah semua kekayaan dapat diambil sehabis-habisnya. 

Dampak yang kemudian muncul adalah terjadinya krisis ekologi, kerusakan lingkungan, langkanya satwa liar, hutan gundul, banjir merajalela. Akhirnya siklus ekologi terancam dan terganggu. 

Paradigma Pembangunan yang bersifat antroposentrik dan perubahan pola pikir manusia telah merubah kedudukan alam sebagai “sumber kehidupan” yang harus dijaga dan dipelihara menjadi sumber kekayaan yang bisa dikeruk dan diambil sehabis-habisnya. 

Paradigma semacam inilah yang menjadikan sumber daya alam sebagai komoditas berdasarkan nilai tukar dan tambah. 

Akhirnya hasrat untuk menguasai, mengambil, mengeruk, mengeksploitasi, mendominasi, bahkan membunuh dan menghabiskan menjadi kaki tangan kapitalisme dalam bekerja dan lalu alam yang kemudian menanggung penderitaan dengan sekian kerusakan yang memprihatinkan. 

Lebih parah lagi untuk melegitimasi segala upaya mengeruk kekayaan alam dengan cara merusak dan menghabiskan, kapitalisme menjadikan “ilmu pengetahuan” sebagai kendaraan untuk “menghalalkan” perbuatannya dalam memperlakukan alam secara semena-mena. 

Menjadi tujuan utama kapitalisme adalah laba. Bagaimana mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari sumber daya alam dengan cara dijarah secara besar-besaran.  

Gerakan Ekofeminisme; Sebuah Alternatif 

Dalam upaya mengembalikan hak pengelolaan sumber daya alam pada perempuan juga upaya mengatasi krisis sosial-ekologis maka selain tindakan praktis juga diperlukan landasan teoritis. 

Ekofeminisme merupakan salah satu alternatif landasan teoritis yang diduga mampu mengungkap selubung ideologis ilmu pengetahuan yang bersifat maskulin terhadap alam. 

Ekofeminisme juga merupakan proyek yang berupaya membebaskan keterkungkungan perempuan dan alam dari penindasan kapitalisme. 

Dasar ekofeminisme berangkat dari pengetahuan bahwa munculnya krisis ekologi tidak lepas dari cara pandang dan perilaku maskulin, mendominasi, menguasai, memanipulasi, mengeksploitasi alam dan (juga) perempuan. 

Apa yang ditawarkan oleh ekofeminisme? Seperangkat bangunan epistemik yang inklusif dan pluralis, yang mengusung relasi antara laki-laki dan perempuan, juga relasi antara manusia dan alam adalah relasi yang saling melengkapi, bukan menguasai satu dengan yang lainnya, juga bukan mengeksploitasi satu terhadap yang lainnya (Ritu Dhingra, 2012). 

Ekofeminisme memiliki potensi untuk membawa wawasan feminis ke ranah etika lingkungan. Nah, prinsip ekofeminisme tidak akan bisa berjalan kalau hanya berada dalam ranah “nilai”, akan tetapi perlu sebuah “tindakan”. Dengan kata lain satu bentuk kepedulian tidak bisa berjalan tanpa adanya tindakan nyata. 

Walaupun demikian, banyak yang mengkritik gagasan tentang ekofeminisme ini, tidak sedikit yang mengatakan bahwa itu hanya sebuah gagasan belaka, bahasa langit, terlalu utopis, ada juga yang mengatakan bahwa konsep tentang ekofeminisme hanya menyajikan alternatif yang bersifat imajinatif belaka, teori-teori yang dipaparkan dibangun berdasarkan lamunan. 

Tentu saja, konsep tentang ekofeminisme banyak yang tidak setuju, sebab upaya yang akan dilakukan melalui ekofeminisme adalah untuk mendobrak “tatanan” komunisme yang saat ini sudah berkuasa dalam berbagai lini kehidupan, mengembalikan kondisi alam sebagaimana sebelumnya adalah suatu hal yang “lucu” bagi kekuasaan dan kerakusan dalam mengeruk kekayaan alam. 

Semoga saja, ini menjadi amunisi bagi kaum perempuan untuk semakin bersemangat dalam upayanya memperjuangkan alam dan memperjuangkan dirinya sekaligus hak-hak yang melekat di dirinya. (*)


* ) Penulis: Mimatun Nasihah, S.Si, M.Pd, Dosen Program Studi Kesehatan Lingkungan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Lamongan (Unisla)