Guru dan Frustasi Sosial
Alyssa Hadley Dunn, Asisten Profesor Pendidikan Guru Michigan State University, percaya bahwa komitmen guru pada “netralitas” – dengan tidak mengungkapkan pandangan nilai keyakinan ideologisnya, atau menghindar membicarakan topik-topik sosial dan politik – sebenarnya hanya akan memisahkan masa depan siswa dari masyarakatnya.
Sikap guru demikian, bagi Alyssa akan mengkerdilkan spirit dan kepekaan siswa atas realitas sosialnya. Menabur bibit frustasi dan pembangkangan sosial pada lapis generasi yang akan datang.
Guru tidak bisa mengurung dirinya di kelas. Mereka tidak bisa lepas dari makro kosmos dunia di luar pagar persekolahannya. Apa yang diajarkannya, bagaimana cara mengajarkannya dibentuk oleh konteks kultur, sosial, politik dan sejarah masyarakat tempat mereka bekerja.
Oleh karena itu, segala aspek pengajaran tidak bisa keluar dari rangka politik dan ideologi pemerintah. Isi buku teks, kurikulum, sampai kebijakan pendidikan – akan sangat mempengaruhi pola dan muatan interaksi guru dan siswanya.
Saat ini Indonesia berada di tengah ganasnya mesin neoliberalisme. Ideologi neoliberalisme sarat terma-terma komersialisasi, pasar bebas dan kompetisi antar penduduk dunia. Bila tidak berhati-hati, pranata pendidikan kita bisa menjadi tidak ubahnya badan usaha nir-ideologi, tidak mampu mendidik, memajukan peradaban masyarakatnya. Kebijakan untuk penguatan pendidikan karakter, yang semestinya menjadi kampiun kurikulum nasional, tidak berdaya manakala sekolah hanya mempercayakannya kepada guru-guru pendidikan agama.
Neoliberalisme menjebak lembaga pendidikan kita ke dalam perlombaan peringkat. Indikator keberhasilan dilekatkan ukuran dan nilai kuantitatif, kemenangan sekolah di tengah sekolah lainnya. Karena memakai logika pasar, maka setiap sekolah juga tidak segan berlomba mengiklankan citra keunggulan akademiknya. Makna sekolah kemudian dikerdilkan menjadi sekedar lembaga penyedia ijazah. Selembar sertifikat yang diyakini sebagai penjamin masa depan siswa meraih cita-cita pekerjaan yang diinginkan.
Pendidikan ala neoliberalisme mengebiri spirit ideologi bangsa ini, karena dianggap tidak “produktif” bagi dunia kerja. Walhasil, sosok guru semakin jauh dari karakter individu pendidik. Pendidik selalu memikirkan kebermanfaatan apa yang diajarkannya untuk masyarakat – siswanya.
Dia dalam segala peran keguruannya selalu menjaga kesadaran, bahwa sebagai pegiat sosial – guru harus mampu menggerakkan potensi anak didiknya untuk berkemauan kuat – berperan memperjuangkan keadilan sosial.
Ketundukan seorang pendidik tidak pada seabrek aturan-aturan profesionalitas dan birokrasi persekolahan. Loyalitas tunggal pendidik adalah pada nilai-nilai sosial yang — dia yakini terbaik — untuk dihayati dan diamalkan anak didiknya. Konsep link and match tidak diartikan guru dengan karakter pendidikan sebagai “keterhubungan dan kesesuaian sekolah dengan dunia kerja”.
Konsep link and match bagi Ki Hajar Dewantara adalah bagaimana pendidik berjalan bersama masyarakat, siap menyediakan pegiat-pegiat sosial yang memiliki sensitifitas – kehalusan budi pekerti — menjawab problematika masyarakat. Bukan malah menciptakan lapis masyarakat baru yang elitis, apolitis, dan buta ideologi bangsanya.
Guru di Indonesia harus memahami bahwa roh pendidikan nasional dibangun dari saripati ideologi tokoh-tokoh besar bangsa ini. Tan Malaka seabad lalu telah menyuarakan tujuan pendidikan adalah “mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.”
Sesatnya, ada anggapan bahwa guru yang memilih berkomitmen atas perubahan sosial, politik dan budaya akan dipandang sosok partisan. Fanatis pada partai atau aliran politik tertentu. Tidaklah demikian. Seorang pendidik dengan karakter agent of social change, mampu mengemukakan analisis, ataupun memantik refleksi sosial sebagai referensi sikap anak didiknya.
Pencapaian idealitas figur pendidik demikian, di hulu persoalan berada di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Lembaga ini bertanggung jawab menyiapkan para pendidik yang memiliki kapasitas adaptasi dirinya terhadap latar sosial sekolahnya.
Bagaimana calon pendidik ini ditempa untuk memiliki keterampilan membangun diskusi-diskusi bersama siswanya, memahami isu-isu sosial di lingkungannya.
Saat ini kecenderungan umum, sosok guru sekedar asyik dengan target pencapaian prestasi akademis siswa. Lebih parah lagi bila sebagian juga hanya sibuk menyelesaikan laporan administrasi pengajaran.
Maka, untuk menjadi pendidik yang mampu mengajak siswanya melek realitas sosial, saatnya para guru dan sekolah berjejaring dengan dengan stakeholders organisasi kemasyarakatan. Menjadikan sekolah kembali menjalankan fungsinya sebagai pranata transmisi budaya dan perubahan sosial. (*)
* ) Penulis: Dr Madekhan, Direktur Sekolah Pascasarjana, Universitas Islam Lamongan (Unisla)